Sabtu, 08 Februari 2014

Gadis ABG Jadi Budak S3ks, Siapa Peduli?

ENG bagai bunga sedang mekar di desa yang terletak di pelosok Pantai Carita, Kabupaten Pandeglang, Banten. Belum genap 6 bulan gadis belia itu lulus dari sekolah menengah kejuruan di kampungnya.



Ia berhasrat besar mencari pekerjaan. Bukan sekadar mencari pengalaman. Himpitan ekonomi keluarga serta tunggakan Rp 3 juta di sekolah untuk menebus ijazahlah yang menjadi pemacu anak dara ini ingin merantau ke Ibukota.

Bak gayung bersambut, suatu siang, 2 pria yang salah satunya mengaku sebagai manajer salon kecantikan, datang dari kota ke kampung gadis 18 tahun berambut lewat bahu itu.

Kedua orang kota itu rupanya mencari karyawati untuk dipekerjakan pada jaringan salon kecantikan di Jakarta. Mereka pun lantas menemui ENG dan keluarga guna mengajak anak ke-3 dari 5 bersaudara itu bekerja di Ibukota.

Tak butuh lama bagi ibunda ENG mengizinkan anaknya merantau ke Jakarta. Ditambah lagi Mmn, salah satu pria yang menjemput ENG itu memang berasal dari kampung setempat, meski sebelumnya jarang pulang. Kala itu, tak terbersit sedikit pun kecurigaan pihak keluarga terhadap Mmn.

ENG memang tidak sendiri, bersamanya pula berangkat 2 gadis lainnya hendak ikut merantau kerja di Jakarta. Sama-sama masih ABG, anak baru gede.

Terjerat Iming-iming

Siang itu, Selasa 17 Desember 2013, ENG dan 2 temannya diiming-imingi upah Rp 5 juta hingga Rp 15 juta. Angka fantastis untuk gadis desa yang belum berpengalaman.

Angan ENG pun melambung. Uang sedemikian besar bakal sangat memenuhi kebutuhan hidupnya. Juga membantu ibunya di kampung. Terlebih, ia memang telah ditinggal sang ayah sejak 5 tahun lalu.

Berselang 12 jam kemudian, ke-3 gadis desa itu akhirnya tiba di tempat kerja yang dijanjikan. Saat itulah, Rabu dini hari pukul 02.00 WIB, ENG mulai merasakan ada yang janggal.

ENG dan 3 temannya mulai ragu. Akankah angan-angan indah mereka meraih penghasilan fantastis hingga Rp 15 juta akan terwujud? ENG pun semakin ragu karena suasana salon kecantikan yang dijanjikan sang manajer dan Mmn tak tampak di sana. Yang tampak hanyalah sebuah ruko kosong, yang jika dilihat dari luar terlihat begitu senyap. Seolah tak berpenghuni.

Pagi harinya, saat mata terbangun setelah 4 jam beristirahat, seketika ENG tersadar dirinya dan 2 temannya itu telah ditipu. Terjerat. Mereka disekap di lantai 3 ruko. Mereka tak sendiri. Bersama mereka telah lebih dulu disekap 14 remaja putri lainnya dari berbagai daerah. Di antara mereka kebanyakan dari wilayah Jawa Barat. Namun ada pula gadis ABG dari Palembang, Sumatera Selatan.

Kecemasan semakin melanda benak ENG. Terbayang sosok ibu dan keluarga di kampung halaman nun jauh di sana yang telah menyematkan harapan sukses untuk dirinya di Jakarta.

Situasi semakin buruk. Hari ke-3 penyekapan, ENG diminta melayani memijat hingga bagian alat vital seorang tamu pria paruh baya yang datang ke ruko. Tentu ini bukanlah pekerjaan pelayan salon yang dijanjikan.

Sudah 10 hari lebih ENG disekap, pikirannya penuh dengan ketidakpastian. Tapi, ia tidak putus asa dan terus mencari cara untuk bisa keluar. Paling tidak berhubungan dengan pihak keluarga di kampung halaman sana.

Syukurlah, sebelum telepon selulernya disita mucikari, ENG sempat berkomunikasi dengan kakak kandung perempuannya di Serang, Banten. Walau hanya beberapa pesan singkat atau SMS yang ia kirimkan.

"Teteh.. ENG takut. ENG pengen pulang, Teteh Jemput.”

Salah satu SMS yang menyiratkan pesan kepada keluarga bahwa ENG dalam bahaya.

Buka Mulut

Meski awalnya sama sekali tak mengetahui lokasi keberadaan ENG, beberapa anggota keluarganya mulai bergerak melacak keberadaan ENG. Terutama melalui Mmn, warga kampung yang juga ikut mengantarkan ENG ke Jakarta. Setelah diancam dan dipaksa oleh keluarga korban, Mmn akhirnya mau buka mulut dan memberikan informasi keberadaan ENG di salah satu ruko kawasan Pantai Indah Kapuk, Pluit, Jakarta Utara.

ENG berhasil dibebaskan. Berselang sehari pada Minggu 29 Desember 2013, berawal dari pembebasan ENG, polisi menggerebek ruko tersebut. Polisi membebaskan 16 remaja lainnya yang juga disekap.

Dua hari kemudian atau pada 31 Desember 2013, Polda Metro Jaya menyatakan pemilik tempat penyekapan 17 gadis ABG itu akan diperiksa penyidik setelah Tahun Baru 2014.

"Memanggil pemilik yang mempekerjakan orang salon dan spa. Pemilik berinisial A, R, J selesai Tahun Baru akan dilakukan pemeriksaan. Pelatih pemijat sudah diperiksa berinisial Il," kata Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Rikwanto.

Rikwanto saat itu belum bisa memastikan pemilik tempat penyekapan itu akan dijerat dengan pasal perdagangan manusia atau tidak.

"Lihat nanti hasil pemeriksaan. Kemudian untuk pelanggaran HAM, itu nanti yang akan ditanyakan lagi pada para pemilik dan akan ditanyakan lagi pada mereka apakah merasa dikekang atau seperti apa," ujar dia.

Menurut Rikwanto, 17 ABG yang dibebaskan dari penyekapan pada Minggu 29 Desember 2013 telah dipulangkan ke rumah masing-masing. Mereka berasal dari berbagai daerah di Jawa Barat.

Sindikat

Keseriusan penyidik kepolisian kemudian dipertanyakan Siane Indriani selaku Komisioner Sub Komisi Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM yang mendampingi ENG. Sindikat penyekap ENG dan belasan gadis ABG lainnya dinilai melakukan berbagai cara.

“Polisi bahkan mengatakan mereka (sindikat) berdalih penyekapan tidak ada. ‘Mereka (korban) boleh kok bertelepon. Buktinya, ENG boleh kok pulang’. Saya bilang, Mmn (perekrut korban) dekat dengan keluarga korban, mungkin ia sungkan," ujar Siane, Jumat 10 Januari 2014.

“Saat penggerebekan itu, mereka itu (para korban) ketakutan… Kalau memang tidak disekap, kenapa ruko tersebut ditutup rapat dan mereka (korban) tidak boleh keluar? Sampai para tetangga tidak tahu. Saat penyekapan, baru mereka tahu. `Kok, ada perempuan di sini`,” imbuh Siane.

Menurut Siane, Komnas HAM kecewa dengan pernyataan penyidik bahwa yang dialami ENG dan kawan-kawan baru training. Belum ada pelecehan seksual.

"Tidak perlu kita menunggu anak itu (korban) dijual, baru mengatakan itu human trafficking. Jadi tindakan ini adalah sangat penting bagi kita semua untuk bisa mengantisipasi hal-hal yang bisa membahayakan masa depan mereka (para korban),” pungkas Siane.



Berontak dari Jeratan Sindikat


Anri Syaiful

Memang. Kisah gadis muda belia terjerumus sebagai budak seks kerap terjadi. Banyak yang menjadi korban human trafficking atau perdagangan manusia lantaran ditipu, dijebak, dan dirayu dengan iming-iming uang.

Tak hanya modus operandi yang beragam. Pelaku atau disebut trafficker tidak bergerak sendirian. Mereka kerap menebar agen ataupun calo yang menjadi bagian dari sindikat terorganisasi dan terselubung.

Pengalaman gadis ENG menjadi suatu pelajaran dari sekian banyak kasus. Beruntung bagi ENG. Walau sudah berada di bibir lembah perbudakan seks, ENG lolos dari penyekapan. Bahkan bisa menolong belasan teman lainnya.

Tak mudah memang bagi ENG untuk membalikkan keadaan. Terutama setelah dirinya terbujuk dan terperdaya jaringan sindikat. Keberanian inilah yang kemudian diceritakan kembali ENG saat ditemui Tim Lipsus Liputan6.com di persembunyiannya di Banten pada pekan kedua Januari 2014. ENG pun mengajak serta Tim Lipsus ke rumah orangtuanya. Dari sanalah kemudian mengalir kisah heroik dan menegangkan gadis berusia 18 tahun tersebut.

Berawal dari rasa takut, ENG berontak. ENG tak tahan disuruh latihan memijat tak lazim. Ia mendesak sang perekrut, Mmn, agar memulangkan dirinya. Sebelum ponselnya disita, ENG berhasil mencuri kesempatan menghubungi salah satu kerabatnya di Serang.

“Menelepon kakak ipar, saya bilang: `Pengin pulang, tidak betah di sini,`” tutur ENG.

“Memang di sana disuruh apa?” seru sang kerabat, seperti ditirukan kembali ENG. Dalam sambungan telepon itu, ENG pun menceritakan peristiwa yang dialaminya dan disuruh sang kerabat untuk membuat alasan orangtua sakit keras.

Dengan alasan tersebut dan terus-menerus menangis, ENG akhirnya `diantar` pulang oleh Mmn. Walau tak diantar ke kampung halamannya, ENG akhirnya bisa bertemu dengan kerabatnya tersebut.

Sebenarnya, ENG sudah aman dan bisa langsung pulang ke kampungnya. Namun, ia akhirnya memilih menyelamatkan belasan teman lainnya. Terutama, setelah ia menerima pesan singkat atau SMS dari temannya, Aml, yang minta tolong agar dibebaskan dari penyekapan.

Dengan sokongan keluarga, ENG memilih melaporkan kejadian yang menimpa dirinya kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Bersama Komnas HAM, ENG kemudian melaporkan adanya penyekapan terhadap belasan gadis ABG lainnya kepada pihak kepolisian.

Tepat 3 hari menjelang Tahun Baru 2014, polisi akhirnya menggerebek ruko yang diduga menyekap belasan ABG di kawasan Pluit, Jakarta Utara. Diduga, mereka akan dipekerjakan di salon yang disinyalir sekaligus menjadi budak pemuas syahwat lelaki hidung belang.

Puncak Gunung Es

Peristiwa yang dialami ENG ibarat puncak gunung es. Ini seperti pernah dikemukakan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Gumelar beberapa waktu lalu. “Fenomena kasus trafficking ini layaknya gunung es. Jumlahnya kecil di permukaan, namun lebih banyak lagi terselubung di bawah permukaan.”

Untuk itu, imbuh sang Menteri, masalah human trafficking harus menjadi perhatian serius bersama. Dan dia mengajak seluruh generasi muda untuk memeranginya. Linda juga mengajak untuk sama-sama mendengungkan slogan `Zero Tolerance for Human Trafficking` dan `We Are Not For Sale`. “Mari kita sama memberantas kasus human trafficking,” ajak Linda.

Slogan dan tindakan preventif memang penting untuk mencegah terjadinya kejahatan perdagangan manusia, terutama gadis ABG yang dijadikan budak seks. Namun, kasus perdagangan manusia di Tanah Air kini mencakup 31 dari 34 provinsi. Tak mengherankan, dalam rentang 10 tahun terakhir, jumlah kasus human trafficking di Indonesia terus meningkat.

Laporan Trafficking in Persons Report 2012 menunjukkan Indonesia adalah negara sumber utama, tujuan, dan transit bagi perdagangan seks dan pekerja paksa perempuan dan anak-anak. Ada lebih dari 1,6 juta pekerja ilegal asal Indonesia bekerja di luar negeri.

Sekitar 69 persennya di antaranya adalah perempuan, bahkan masih banyak anak-anak. Sebagian di antara mereka dipekerjakan secara eksploitatif sebagai tenaga seks.

Masih merujuk laporan tersebut, korban perdagangan manusia ini juga beroperasi di dalam negeri. Selain dipekerjakan paksa di sektor pertambangan dan perikanan di daerah pedalaman, mereka juga dipekerjakan sebagai tenaga seks di wilayah operasi penambangan di beberapa provinsi di Tanah Air.

Data Bareskrim Mabes Polri dan International Organization for Migration (IOM) memperlihatkan pula adanya kecenderungan kejadian human trafficking di Indonesia meningkat sejak 2005 hingga 2013. Indonesia menempati peringkat pertama negara yang terbanyak kasus human trafficking, yakni mencapai 4.668 orang. Ini meningkat ketimbang tahun silam yang sebesar 3.943 orang korban perdagangan manusia.

Data-data itu jelas mengundang keprihatinan. Padahal, Indonesia telah meratifikasi human trafficking dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO). Ancaman hukuman bagi pelaku pun tak main-main, yakni maksimal 15 tahun penjara. Sang pelaku dapat pula dijerat dengan pasal-pasal di UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman yang sama.

Jika ke-2 UU tersebut diterapkan, jelas dapat memberikan efek jera terhadap para pelaku human trafficking, terutama perdagangan gadis ABG. Alhasil, calo ataupun agen perekrut gadis ABG beserta jaringan sindikatnya bakal berpikir panjang untuk melancarkan aksi kejahatannya.

Masalah penanganan dan pemberantasan human trafficking, khususnya menjadikan gadis ABG sebagai budak seks, turut menjadi sorotan Siane Indriani, Komisioner Sub Komisi Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM.

Siane menilai, harus ada keseriusan pemerintah dalam menuntaskan human trafficking. Terlebih, perdagangan manusia ini menyangkut mafia internasional. "Semua pihak harus terlibat. Tidak hanya menyerahkan [penanganan kasus] kepada polisi, semua pihak juga harus mengawasi dan ikut membantu jangan sampai menunggu harus jatuh korban human trafficking," pungkas Siane.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar